Dia menghentikan sepedanya dipinggir jalan. Peluh menetes dikeningnya. Melihat layar bercahaya itu dengan ragu.
"Sampai kapan tak mau aku ganggu?"
Layar itu menunjukkan teks terkirim
Dia menunggu sambil tetap berdiri diatas sepedanya. Langit masih malu untuk bersinar.
Layar ditangannya bergetar.
Satu teks darinya masuk.
"Selamanya...."
Hanya sebuah teks, huruf yang berbaris dan tanpa intonasi.
"Oh, jadi hanya melalui ini?"
"Nanti aku telepon"
"Cukup, sudah saja"

Dia mengayuh pedal sepedanya. Sudut matanya basah. Sepeda itu berhenti disebuah lapangan rumput. Beberapa orang berjalan mengitari lapangan itu. Dia tak bisa melihat jelas, memutuskan untuk berhenti.
Lima menit.
Sepuluh menit.
Baiklah, sudah cukup. Dia harus bergerak pulang. Matahari sudah membangunkan seluruh bumi. Waktunya berangkat kerja.

Matanya selalu basah, walau sudah memandang fokus pada layar lcd komputer. Dia sendiri, hanya dengan pikirannya, sesuatu telah hilang dari jiwanya, perutnya mual, dadanya sesak, dia sulit bernafas.
Disudut benaknya berdoa, bantulah aku membencimu karena aku begitu mencintaimu. Dia terus memandangi layar komputer dengan pikiran keluar dari gedung itu. Dia ingin berlari, menjauh dari semua yang ada sekarang.
"Din... Yuk turun"
Sayup suara itu terdengar. Dia tak menyahut.
"Dinda!"
"Iii..yaa.. Mba.." tergagap dia menjawab.

Sendok itu hanya bergerak memutar membentuk lingkaran diatas plato.
"Din, makan! Hayooo.. Dimakan, harus!"
"Aku mual mba, rasanya eneg"
"Tetap dicoba, jangan sampai ga makan din"
"Iya mba"

"Gue tau lu lagi sedih, tapi jangan siksa diri lu, jangan sampai sakit din.."
"Iya mba, ini aku makan"

Detik, menit dan jam terus berganti
Sudah tak ada lagi yang bisa dilakukan.
Dinda harus melepaskan, walau menusuk saat dia dengan yang lain. Memang tak adil, tetapi mungkin itu yang terbaik untuknya.


PS : Sebuah flash fiction sederhana untuk post kali ini. :) 
See you next post 
Everyday writing, write everything in 30 days.
Day 7


0 Komentar